BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pengupahan atau pemberian upah adalah salah satu masalah yang
tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak top manajemen manapun,
apapun bentuk organisasinya baik itu swasta maupun
pemerintah. Paradigma saat ini, pemberian upah di negara kita
disadari atau tidak lebih condong untuk berkiblat ke barat, dimana dalam studi
kasusnya upah kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh seperti upah
buruh lepas di areal perkebunan, dan upah pekerja buruh bangunan misalnya.
Mereka biasanya dibayar mingguan atau bahkan harian. Itu untuk buruh, sedangkan
gaji menurut pengertian keilmuan barat terkait dengan imbalan uang yang
diterima oleh setiap karyawan atau pekerja tetap yang dibayarkan sebulan
sekali. Sehingga dalam pandangan dan pengertian dunia barat, Perbedaan gaji dan upah itu hanya terletak
pada Jenis karyawannya yang berkategori karyawan tetap atau tidak tetap dengan sistem pembayarannya
secara bulanan, harian atau per periode tertentu.
Konsep upah dalam
islam sangat berbeda dengan konsep upah barat. Islam sangat menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan dan moral dalam sistem pengupahan. Seperti
konsep keadilan dan kelayakan. Untuk itulah dalam makalah ini akan membahas
lebih mendalam tentang upah dalam islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merumuskan beberapa
poin sbb :
1.
Bagaimana Sejarah
Upah Mengupah?
2.
Bagaimana pengertian
Upah Mengupah?
3.
Bagaimana Konsep Upah
dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Hadis dan penjelasan tentang Upah Mengupah
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ خَالِدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَأَعْطَى الحَجَّامَ أَجْرَهُ»( اخرجه البخارى )[1]
Artinya :
Telah di menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yaz>i>d ibn Zurab’i,dari
Kha>lid, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata : Nabi saw. Berbekam
dan memberi upah pada pembekam. ( HR. Bukhari )
A.
Sejarah Upah
Mengupah
Upah menurut keputusan menteri tenaga kerja dan
transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004 adalah hak yang diterima pekerja dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja yang dibayarkan
berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja karena jasa yang diberikannya.
Majikan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab sepenuhnya untuk membayar upah
pekerjanya, baik dalam kondisi untung ataupun sedang merugi.
Model upah seperti ini telah
dikenal lama jauh sebelum masuknya agama islam. Dalam banyak cerita tarikh
islam, Nabi Muhammad saw semasa kecil pernah bekerja sebagai pengembala kambing
bagi penduduk Mekah dengan imbalan upah. Bahkan, setelah dewasa Muhammad
beberpa kali melakukan transaksi untuk menjalankan barang dagangan Khodijah
dengan imbalan upah seekor unta yang masih muda dalam setiap kali perjalan ke
kota-kota dagang. Setelah Muhammad dikenal oleh penduduk Mekah dengan kerajinan
dan kejujuran serta integritasnya yang tinggi, maka reputasinya sebagai pedagang
menjadi semakin baik. Reputasi ini telah menarik minat Khodijah untuk lebih
mempercayakan barang dagangannya kepada Muhammad. Al-Allamah Adz-Dzahabi telah
meriwayatkan dari cerita Muhammad: “... Saya telah dua kali melakukan
perjalanan dagang untuk Khodijah dan mendapatkan upah dua ekor unta betina
dewasa.“
Selain model hubungan pekerja-majikan
dengan sistem upah sebagaimana telah di uraikan, waktu itu
dikenal pula model yang menggabungkan upah
dengan bonus prestasi kerja. Dalam suatu kesempatan, Khadijah setuju
mempekerjakan Muhammad untuk membawa barang-barang dagangannya ke Syam dengan
upah yang telah ditentukan. Karena prestasi dan kejujurannya, Muhammad berhasil
menjual barang-barang Khadijah dengan memberi lebih banyak keuntungan
dibandingkan yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dari prestasinya
tersebut, Khadijah kemudian memberikan sebagian keuntungan yang lebih banyak
daripada yang telah disepakati sebelumnya (Siddiqi, 1992:52).[2]
B.
Pengertian Upah
Mengupah dalam Islam
Upah disebut
juga dengan ijarah dalam Islam. Ijaroh menurut ulama’
hanafiyah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan sedangkan
menurut ulama’ safi’iyah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu,bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[3]
Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan oleh
tenaga kerja. Ini sejalan dengan ayat suci Al-Quran surah At-Taubah ayat 105
dan surah Al-Nahl ayat 97sebagai berikut :
Q.S
At-Taubah ayat 105 ;
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Terjemahnya :
“Dan
Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu
itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib
dan yang nyata, lalu diberikanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. ( Q.S. At-Taubah ayat 105 )
An-Nahl ayat 97;
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya :
Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” ( Q.S. An-Nahl ayat 97 )
Quraish Shihab dalam bukunya yaitu Tafsir Al Misbah menjelaskan Al-Taubah: 105 ini sebagai berikut: “Bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang shaleh dan
bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Ganjaran yang
dimaksud dalam ayat ini adalah upah atau kompensasi. Demikian juga dengan An
Nahl: 97, maksud dari kata balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau
kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat
karena Allah (amal shaleh) maka ia akan mendapatkan balasan baik didunia
(berupa upah) maupun diakhirat (berupa pahala), yang berlipat ganda. Dari dua
ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa upah dalam konsep Islam
memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.
Misal, untuk tata cara pembayaran upah, Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW
bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya”
(HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di
atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah
adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan
materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat
(imbalan yang lebih baik).
Pengertian
lain di sebutkan dari salah satu hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda yang Artinya:
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah
saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa
mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa
yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya
(sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat,
dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu
mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dari
hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang
diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan
Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).[4]
Upah
mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun
keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah). Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya
ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain.
Pada dasarnya pembayaran upah harus diberikan seketika juga,
sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga
Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan
upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya
Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan
manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus
diberikan sebelum peluhnya kering."
Kematian orang
yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau
orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang
yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang
diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi
kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.
Adapun
Rukun dan Hukum dalam Upah Mengupah dalam konsep fiqih adalah sebagai berikut :
a.
Rukun Upah
Mengupah
1.
Musta’jir (pihak
tertentu baik perorangan, perusahaan/kelompok maupun negara sebagai pihak yang
mengupah ).
2. ajir
(orang yang diupah).
Baik ajir maupun musta’jir tidak diharuskan muslim. Islam membolehkan seseorang bekerja untuk orang non
muslim atau sebaliknya mempekerjakan orang non muslim.
3.
Shighat (akad )
Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul
yang dilakukan dalam jual beli.
4. Ujrah
(upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya manfaat yang
diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup,
kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang
diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.
5. Ma'qud
alaihi (barang yang menjadi Obyek)
Sesuatu yang
dikerjakan dalam upah mengupah di syaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan
dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah
bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal. Dilarang memberikan jasa yang
haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras. (untuk
paling sedikit ada 10 kegiatan bertalian yang dilarang Islam, sementara
untuk riba ada empat pihak yang dilaknat: pemberi, penerima, pencatat dan
saksi) dan sebagainya.[5]
b.
Hukum Upah
Mengupah
Upah
mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku
dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain.
Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
1. Ijarah
khusus
Yaitu
ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak
boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
2. Ijarah
musytarik
Yaitu
ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya
dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.[6]
C.
Konsep Upah
dalam Islam
1.
Prinsip Adil
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ[7]
Terjemahnya
:
“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
Taqwa". (QS.
Al-Maidah : 8).
Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum
kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang
dikerjakan". (HR. Baihaqi).
Dari ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat
Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada
kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan
melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang
terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan,
harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah
tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
Khusus untuk cara pembayaran upah,
Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw.
Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“.[8] (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam menjelaskan
sebagai berikut : “Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika
ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan
kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antara mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja
menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan
atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama
ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi.
Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja" yang
menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bahkan Syeikh
Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas
hak upah yang diperolehnya, demikian juga memberi upah merupakan kewajiban
perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa
kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, biasanya dituangkan dalam buku
Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
Hadits lain yang menjelaskan tentang
pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari
Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga
jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama,
adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan
nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang
manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang
menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar
upahnya" (HR.
Bukhari).
Hadits diatas menegaskan tentang waktu
pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah,
dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para
pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam
hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang
karyawan (buruh)
2.
Kelayakan ( kecukupan
)
Jika Adil berbicara tentang kejelasan,
transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka
Layak berhubungan dengan besaran yang diterima, layak disini bermakna cukup dari segi
pangan, sandang dan papan.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah
saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa
mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa
yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya
(sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat,
dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu
mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dapat dijabarkan bahwa hubungan antara
majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi
karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan
sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih dari 14 abad yang
lalu telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini dipakai oleh
pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali
memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah
yang sangat jarang dilakukan saat ini.
Wilson menulis dalam bukunya yang
berjudul Islamic Business Theory and Practice yang kurang
lebih maksudnya adalah “Walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga,
para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar
lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami oleh para pengusaha
Barat".
konsep Islam jauh sangat berbeda dengan
konsep upah menurut Barat. Upah menurut Islam sangat besar kaitannya dengan
konsep Moral, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau
keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat (pahala).
Jadi mulai dari sekarang, marilah kita terapkan prinsip Islam kembali
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Upah dalam
Islam adalah
imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi
di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan
yang lebih baik). Konsep yang sangat
berbeda dengan upah barat yang hanya memperhatikan keuntungan. Konsep Upah
dalam Islam ialah sangat penting dimana perbedaan antara konsep di dunia barat
dengan dunia islam sangatlah berbeda. Konsep Upah di dalam Islam terdiri dari:
1.
Keadilan, yang menjelaskan bahwa prinsip utama keadilan terletak pada
kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan
melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang
terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan,
harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah
tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
2.
Layak, Jika adil berbicara tentang kejelasan, taransparansi serta
proporsionalitas ditinjau
dari berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima. layak
disini bermakna cukup dari segi pangan, sandang dan papan.
Dikarenakan
konsep/prinsip upah di indonesia lebih berkiblat pada barat sehingga muncul
berbagai permasalahan pengupahan. Penyebab dari ketidakpuasan buruh dalam hal pengupahan, biasanya di dasari dari masalah lambatnya pelaksanaan pembayaran
upah, Adanya
pemotongan-pemotongan upah untuk keperluan suatu dana bagi kepentingan buruh,
tanpa perundingan dulu dengan pihak buruh dan lain
sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bukha>ri, Muhammad ibn Isma>‘i>l Abu>
‘Abdilla>h >, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Da>r Tau>fiq:
al-Naja>h, 1422.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Mekar
Surabaya,
2000.
http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep
islam. di akses pada tanggal 29-12-2013.
Jusmaliani. Bisnis
Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Nasrun, Haroen, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Al-Qazwainy, Abi>
‘Abdillah bin Yazi>d, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar
al-Fikr, 2004.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah,
Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar