Rabu, 08 Januari 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pengupahan atau pemberian upah adalah salah satu masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak top manajemen manapun, apapun bentuk organisasinya baik itu swasta maupun pemerintah. Paradigma saat ini, pemberian upah di negara kita disadari atau tidak lebih condong untuk berkiblat ke barat, dimana dalam studi kasusnya upah kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh seperti upah buruh lepas di areal perkebunan, dan upah pekerja buruh bangunan misalnya. Mereka biasanya dibayar mingguan atau bahkan harian. Itu untuk buruh, sedangkan gaji menurut pengertian keilmuan barat terkait dengan imbalan uang yang diterima oleh setiap karyawan atau pekerja tetap yang dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pandangan dan pengertian dunia barat, Perbedaan gaji dan upah itu hanya terletak pada Jenis karyawannya yang berkategori karyawan tetap atau tidak tetap dengan sistem pembayarannya secara bulanan, harian atau per periode tertentu.
Konsep upah dalam islam sangat berbeda dengan konsep upah barat. Islam sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan moral dalam sistem pengupahan. Seperti konsep keadilan dan kelayakan. Untuk itulah dalam makalah ini akan membahas lebih mendalam tentang upah dalam islam.

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merumuskan beberapa poin sbb :
1.      Bagaimana Sejarah Upah Mengupah?
2.      Bagaimana pengertian Upah Mengupah?
3.      Bagaimana Konsep Upah dalam Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

Hadis dan penjelasan tentang Upah Mengupah

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ خَالِدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَعْطَى الحَجَّامَ أَجْرَهُ»( اخرجه البخارى )[1]
Artinya :
            Telah di menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yaz>i>d ibn Zurab’i,dari Kha>lid, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata : Nabi saw. Berbekam dan memberi upah pada pembekam. ( HR. Bukhari )
           
A.    Sejarah Upah Mengupah
 Upah menurut keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004 adalah hak yang diterima pekerja dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja yang dibayarkan berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja karena jasa yang diberikannya. Majikan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab sepenuhnya untuk membayar upah pekerjanya, baik dalam kondisi untung ataupun sedang merugi.
Model upah seperti ini telah dikenal lama jauh sebelum masuknya agama islam. Dalam banyak cerita tarikh islam, Nabi Muhammad saw semasa kecil pernah bekerja sebagai pengembala kambing bagi penduduk Mekah dengan imbalan upah. Bahkan, setelah dewasa Muhammad beberpa kali melakukan transaksi untuk menjalankan barang dagangan Khodijah dengan imbalan upah seekor unta yang masih muda dalam setiap kali perjalan ke kota-kota dagang. Setelah Muhammad dikenal oleh penduduk Mekah dengan kerajinan dan kejujuran serta integritasnya yang tinggi, maka reputasinya sebagai pedagang menjadi semakin baik. Reputasi ini telah menarik minat Khodijah untuk lebih mempercayakan barang dagangannya kepada Muhammad. Al-Allamah Adz-Dzahabi telah meriwayatkan dari cerita Muhammad: “... Saya telah dua kali melakukan perjalanan dagang untuk Khodijah dan mendapatkan upah dua ekor unta betina dewasa.“

Selain model hubungan pekerja-majikan dengan sistem upah sebagaimana telah di uraikan, waktu itu dikenal pula model yang menggabungkan upah dengan bonus prestasi kerja. Dalam suatu kesempatan, Khadijah setuju mempekerjakan Muhammad untuk membawa barang-barang dagangannya ke Syam dengan upah yang telah ditentukan. Karena prestasi dan kejujurannya, Muhammad berhasil menjual barang-barang Khadijah dengan memberi lebih banyak keuntungan dibandingkan yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dari prestasinya tersebut, Khadijah kemudian memberikan sebagian keuntungan yang lebih banyak daripada yang telah disepakati sebelumnya (Siddiqi, 1992:52).[2]

B.     Pengertian Upah Mengupah dalam Islam
Upah disebut juga dengan ijarah dalam Islam. Ijaroh menurut ulama’ hanafiyah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan sedangkan menurut ulama’ safi’iyah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu,bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[3] Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja. Ini sejalan dengan ayat suci Al-Quran surah At-Taubah ayat 105 dan surah Al-Nahl ayat 97sebagai berikut :
Q.S At-Taubah ayat 105 ;

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Terjemahnya :
Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. ( Q.S. At-Taubah ayat 105 )
An-Nahl ayat 97;
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya :
Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( Q.S. An-Nahl ayat 97 )

Quraish Shihab dalam bukunya yaitu Tafsir Al Misbah menjelaskan Al-Taubah: 105 ini sebagai berikut:  “Bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang shaleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Ganjaran yang dimaksud dalam ayat ini adalah upah atau kompensasi. Demikian juga dengan An Nahl: 97, maksud dari kata balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal shaleh) maka ia akan mendapatkan balasan baik didunia (berupa upah) maupun diakhirat (berupa pahala), yang berlipat ganda. Dari dua ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa upah dalam konsep Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.
Misal, untuk tata cara pembayaran upah, Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Pengertian lain di sebutkan dari salah satu hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda yang Artinya:
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).[4]

Upah mengupah (ijaratu al-ajir) adalah memberikan suatu jasa (berupa tenaga maupun keahlian) pada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah (ujrah). Upah mengupah disebut juga dengan jual beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan lain-lain. Pada dasarnya pembayaran upah harus diberikan seketika juga, sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi bersabda: "Upah harus diberikan sebelum peluhnya kering." Kematian orang yang mengupah atau diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya, kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaannya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupahnya mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaan, urusannya di tangan Allah.

Adapun Rukun dan Hukum dalam Upah Mengupah dalam konsep fiqih adalah sebagai berikut :

a.       Rukun Upah Mengupah
1.      Musta’jir (pihak tertentu baik perorangan, perusahaan/kelompok maupun negara sebagai pihak yang mengupah ).
2.       ajir (orang yang diupah).
Baik ajir maupun musta’jir tidak diharuskan muslimIslam membolehkan seseorang bekerja untuk orang non muslim atau sebaliknya mempekerjakan orang non muslim.
3.      Shighat (akad )
Syarat ijab qabul antara ajir dan musta’jir sama dengan ijab qabul yang dilakukan dalam jual beli.
4.      Ujrah (upah)
Dasar yang digunakan untuk penetapan upah adalah besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja (ajiir) tersebut. Bukan didasarkan pada taraf hidup, kebutuhan fisik minimum ataupun harga barang yang dihasilkan. Upah yang diterima dari jasa yang haram, menjadi rizki yang haram.
5.      Ma'qud alaihi (barang yang menjadi Obyek)
Sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah di syaratkan pada pekerjaan yang dikerjakan dengan beberapa syarat. Adapun salah satu syarat terpenting dalam transaksi ini adalah bahwa jasa yang diberikan adalah jasa yang halal. Dilarang memberikan jasa yang haram seperti keahlian membuat minuman keras atau membuat iklan miras. (untuk paling sedikit ada 10 kegiatan bertalian yang dilarang Islam, sementara untuk riba ada empat pihak yang dilaknat: pemberi, penerima, pencatat dan saksi) dan sebagainya.[5]
b.      Hukum Upah Mengupah
            Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua, yaitu:
1.      Ijarah khusus
            Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
2.      Ijarah musytarik
            Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.[6]


C.     Konsep Upah dalam Islam
1.      Prinsip Adil
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ[7]
Terjemahnya :
“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa". (QS. Al-Maidah : 8).
 Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan". (HR. Baihaqi).

Dari ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
 Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“.[8] (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

 Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam menjelaskan sebagai berikut : “Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, biasanya dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
 Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya" (HR. Bukhari).

Hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh)

2.      Kelayakan ( kecukupan )
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima, layak disini bermakna cukup dari segi pangan, sandang dan papan.
 Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dapat dijabarkan bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih dari 14 abad yang lalu telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini.
 Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang kurang lebih maksudnya adalah “Walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami oleh para pengusaha Barat".
konsep Islam jauh sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Upah menurut Islam sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat (pahala). Jadi mulai dari sekarang, marilah kita terapkan prinsip Islam kembali
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Upah dalam Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik). Konsep yang sangat berbeda dengan upah barat yang hanya memperhatikan keuntungan. Konsep Upah dalam Islam ialah sangat penting dimana perbedaan antara konsep di dunia barat dengan dunia islam sangatlah berbeda. Konsep Upah di dalam Islam terdiri dari:

1.       Keadilan, yang menjelaskan bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
2.      Layak, Jika adil berbicara tentang kejelasan, taransparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima. layak disini bermakna cukup dari segi pangan, sandang dan papan.

Dikarenakan konsep/prinsip upah di indonesia lebih berkiblat pada barat sehingga muncul berbagai permasalahan pengupahan. Penyebab dari ketidakpuasan buruh dalam hal pengupahan, biasanya di dasari dari masalah lambatnya pelaksanaan pembayaran upah, Adanya pemotongan-pemotongan upah untuk keperluan suatu dana bagi kepentingan buruh, tanpa perundingan dulu dengan pihak buruh dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukha>ri, Muhammad ibn Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h >, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Da>r Tau>fiq: al-Naja>h, 1422.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Mekar Surabaya, 2000.
http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep islam. di akses pada tanggal 29-12-2013.
Jusmaliani. Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Nasrun, Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Al-Qazwainy, Abi> ‘Abdillah bin Yazi>d, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar al-Fikr, 2004.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.

                                                                                                                       



[1] Muhammad ibn Isma>‘i>l Abu> ‘Abdilla>h al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz III (t.t : Da>r Tau>fiq al-Naja>h, 1422), h. 93
[2] Jusmaliani. Bisnis Berbasis Syariah. ( Jakarta: Bumi Aksara ), 2000, h. 48
[3] Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 228
[4] http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep-islam
[5] Rachmat Syafei , 2001. Fiqh Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, h. 129
[6] Ibid.,h. 134
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta : Daruh Sunnah ),h. 107
[8] Abi> ‘Abdillah bin Yazi>d al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah}, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), Juz II, h. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar