Al-Dakhi>l Fi Tafsi>r
Mata Kuliah Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Semester V
Oleh;
ZAINUDDIN
NIM:30300111015
Dosen
Pemandu;
Muhammad Irham M.Thi
PROGRAM ILMU HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya yang
dibawa oleh penutup para Nabi Muhammad SAW. Dengan berpegang pada kitab suci
al-Qur’an yang merupakan satu-satunya kitab samawi yang Allah janjikan keutuhan
dan keotentikan kebenarannya hingga akhir zaman. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi:
إِنَّا نحنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَ إِنَّا له لحَافِظُوْنَ
Allah telah menurunkan empat kitab samawi serta banyak mushaf
kepada Nabi dan Rasul-Nya. Yang kesemuanya memiliki beberapa kesamaan dalam
pembahasannya. Namun seiring berjalannya waktu, kitab-kitab terdahulu telah
banyak berubah disebabkan tangan-tangan pemegangnya yang tidak bertanggung
jawab dan kepentingan pribadi yang penuh syahwat duniawi. Karena itu,
hanya satu kitab samawi yang masih terjaga keutuhannya hingga saat ini, yaitu
kitab suci al-Qur’an al-Karim.
Sebagai sumber utama syariat islam, al-Qur’an mendapat perhatian penting
oleh penganutnya. Semua penganutnyapun ingin hidup seutuhnya berdasarkan
tuntunan yang tremaktub di dalamnya.Namun, bahasa Tuhan yang begitu agung sulit
dipahami seutuhnya oleh hamba-Nya yang terlalu jauh dari sempurna.Karenanya
dibutuhkan pentafsir atau penjelas untuk mempermudah memahaminya dan
mengaplikasikan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Baik berupa penjelasan yang
dijabarkan oleh Rasulullah SAW ataupun kalam sahabat dan alim ulama yang ‘amiq
ilmu pengetahuannya.
Maka muncullah sebuah alat pembantu untuk memahaminya yang bernama
Tafsir al-Qur’an. Tafsir ini merupakan alat pembantu yang sangat membantu
muslim awam untuk memahami kitab sucinya dengan baik.
Dibalik keistimewaan ilmu tafsir yang dapat mempermudah manusia untuk
memahami al-Qur’an dengan baik dan benar, terdapat beberapa hal yang juga dapat
menjerumuskan pembaca dan peminatnya pada kesalahan yang jauh menyimpang dari
syari’at. Hal ini disebabkan karena banyaknya riwayat-riwayat yang masuk ke
dalam tafsir al-Qur’an salah satunya yaitu Al-Dakhi>l .
Terkontaminasinya tafsir al-Qur’an dengan riwayat Al-Dakhi>l
mempunyai beberapa faktor dan juga memberikan pengaruh yang sangat besar .
Karenanya kita harus mengetahui dan harus bisa membedakan agar kita tidak salah
dalam memahami kitab suci al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat islam.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
penjelasan dalam latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan
Al-Dakhi>l fi Tafsi>r?
2.
Bagaimana sejarah dan
pembagian Al-Dakhi>l fi tafsi>r?
3.
Apa urgensi mengetahui
Al-Dakhi>l fi tafsi>r?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Dakhi>l fi tafsi>r
Secara bahasa, kata al-Dakhi>l dalam bahasa
arab memiliki banyak arti, Fairu>zzaba>di dalam kamusnya Al-Muhit
mengartikan kata dakhi>l sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh
manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang merusak.[1]Penulis
kitab Lisa>nu al-Arab mengartikan al-Dakhi>l dengan arti kata “asing”
sepertiفلان
دَخِيل في بني فلان(si
fulan adalah orang asing di lingkungan bani fulan )[2].
Sedang makna dakhil secara istilah menurut
ulama tafsir, sebagaimana yang di defenisikan oleh Dr. Ibrahim Khalifah adalah;
penafsiran Al-Quran yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam, baik itu
tafsir menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun
menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab lalai
ataupun disengaja). Sedang, Dr. Abdul Wahhab memaknai dakhil dengan;
menafsirkan Al-Qur’an dengan metode dan cara yang diambil bukan dari Islam.[3]
Dakhil
dalam tafsir adalah :
الدخيل
في التفسير هو ما نقل من التقسير ولم يثبت نقله او ثيت ولكن على خلاف القبول او ما
كان من قبيل الرأي الفاسد
Penafsiran Al-qur’an dengan al-ma’tsur yang tidak shahih, penafsiran
Al-qur’an dengan al-ma’tsur yang shahih tatapi tidak memenuhi
syarat-syarat penerimaan atau penafsiran al-qur’an dengan pikiran yang salah[4]
Berdasarkan pengertian di atas maka pengertian
al-dakhil dalam tafsir adalah suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tututpi
dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir
al-Quran yang otentik. Akibat penyembunyian dan penyamaran ini, usaha untuk
mengetahui dan mengungkapkannyamembutuhkan suatu ketelitian atau penelitian
mendalam.
B.
Sejarah dan
Pembagian Al-Dakhi>l fi tafsi>r
Sejarah
Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Infiltrasi
kisah-kisah israiliyyat dalam Tafsir al-Qur‟an
tidak lepas dari kondisi sosial kultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah.
Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk kedalam benak mereka
sehingga tidak bisa dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani
dengan kebudayaan Arab. Pada masa Rasullah saw, informasi dari kaum Yahudi yang
dikenal dengan Israiliyyat tidak berkembang di dalam penafsiran al-Qur’an,
sebab hanya beliau satu-satunya penjelas( Mubayyin ) berbagai masalah atau hal
yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an baik makna
atau kandungannya para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah saw.[5]
Kendatipun demikian, Rasullullah telah
memberi semacam lampu hijau untuk menerima informasi dari Bani Israil. Hal ini
tampak dalam hadis beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amru
dan riwayat Bukhari dari Abi Hurairah. Setelah Rasul wafat, tidak seorangpun
yang berhak menjadi penjelas wahyu.Dalam kondisi ini para sahabat mencari
sumber dari hadis Rasul.Apabila mereka tidak menjumpai, mereka
berijtihad.Riwayat dan ahli kitab menjadi salah satu rujukan.Hal ini terjadi
karena ada persamaan antara al-Qur’an, Taurat dan Injil.Hanya saja al-Quran
berbicara dengan singkat sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.[6]
Pembagian Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Para ulama Tafsir membagi
dakhil menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
1.
Dakhil al- Naqli
Menafsirkan
Al-quran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah. Seperti menafsirkan Al-quran
dengan hadis palsu dan dhaif, lebih-lebih bila faktor kedaifan hadis itu
sesuatu yang tidak mungkin direhabilitasi seperti tidak terpenuhinya unsur
‘adalah (integrasi perawi).[7]Hadits
yang layak diterima sebagai dalil adalah hadis sahih dan hadis hasan.Perbedaan
antara sahih dan hasan adalah pada daya hapal perawi.Sanad hadis sahih memiliki
daya hapal yang kuat sedangkan sanad hadis hasan memiliki daya hapal yang di
bawah standar hadis sahih.
Contohnya
:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ
عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا
عِلْمًا
“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang Kami telah berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah
kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (Qs. AL-Kahfi:65).
Dalam
menafsirkan ayat ini, kelompok yang berpendapat bahwa Nabi Khidir masih hidup
berdasarkan argumentasi dengan hadis :
‘’bahwa
Zulkarnain berteman dengan seorang malaikat.Ia meminta temannya itu menunjukkan
sesuatu yang dapat memperpanjang umurnya kepadanya. Malaikat menunjukkan ‘ain
al hayah (air mata kehidupan) kepadanya yang berada di tempat gelap.Zulkarnain
berjalan menujunya, sedang di depannya berjalan pula Khidir.Khidir
mendapatkannya sedang Zulkarnain tidak.”[8]
Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis ini menjadi sandaran pendapat
bahwa Khidir akan hidup sampai kiamat karena ia telah minum mata air kehidupan.
Hadis ini dhaif karena bersumber dari Wahb Ibn
Munabbih dan lain-lain. Semua Israiliyyat yang bersumber darinya
adalah dhaif dan tidak dapat dipercaya.[9]
2.
Dakhil al-Ra’yi
Bentuk-bentuk dakhil al-Ra’yi yaitu sebagai
berikut :
Dakhil karena
pemutarbalikan logika dan pengabaian makna literal. Dakhil karena faktor ini
sering dilakukan oleh kelompok Mu’tazilahdan sebahagian filosof muslim.[10]
Muktazilah adalah aliran
yang menganut paham qadariah, pengikutnya selalu disebut ashhab al-‘adl
wa al-tauhid. Sekalipunsekte aliran ini banyak, namun semua sepakat dalam
hal Allah bersifat qadim, mausia adalah pelaku perbuatannya, mukmin pelaku dosa
besar yang tidak tobat kekal dalam neraka, dan sekalipun wahyu belum turun
namun manusia wajib mengenal Allah dan mensyukuru nikmatnya.
Dakhil karena faktor
pengungkapan aspek-aspek mukjizat al-Quran yang diada-adakan dan aneh khusus
aspek ilmiahnya. Dakhil karena faktor ini sering dilakukan oleh sebagian ilmuan
yang menguasai ilmu-ilmu kontemporer.[11]
Memposisikan ayat al-Quran
sebagai dasar pengesahan sesuatu yang belum pasti kebenarannya adalah suatu
kesalahan.Teori-teori ilmiah masih bersifat sementara dan belum final.Al-Quran
adalah kitab suci yang berisi hidayah terkadang mengisyaratkan beberapa bagian
masalah ilmiah yang eksperimental lagi berwujud.banyak orang menyikapi al-Quran
secara tidak wajar. Mereka mengklaim bahwa al-Quran telah mencakup semua cabang
disiplin ilmu yang telah dipelajari dan yang akan dipelajari manusia seperti
ilmu fisika, matematika, logika dan semua keterampilan serta keahlian. Klaim
seperti ini tidak benar.Yang paling mengetahui ilmu al-Quran dan kandungannya
adalah para sahabat dan tabi’in, tidak seorangpun drai mereka yang mengeluarkan
pebdapat yang serupa.
Contoh tafsir ilmi yang mengungkap aspek I’jaz al-Quran :
dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit lalu dia hasilkan
dengan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu (Qs. Al-Baqarah : 22)
Dalam menafsirkan ayat ini Dr. Abdul Aziz
Ismail menyatakan bahwa ayat ini mengindikasikan bahwa daging, ikan dan susus
lebih bergizi dan utama daripada sayur-sayuran, gandum dan jagung. Keutamaannya
tidak pada kandungan kadar proteinnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Kemudian ia menulis ayat di atas dengan mengungkap kesimpulan ilmiah
ini secara ringkas. Sekalipun kesimpilan ini sudah tertera dalam al-Quran namun
kebenarannya baru terbukti beberapa tahun terakhir.Dzahabi mengomentari
pendapat di atas sebagai berikut, ‘’saya heran tentang ungkapannya ‘Ayat di
atas mengungkap kesimpulan ilmiah ini secara ringkas’.[12]
C.
Dampak Dakhi>l fi
Tafsi>r
Adapun dampak dari Dakhi>l fi Tafsi>r :
Mengurangi ketsiqohan ummat Islam
terhadap sahabat Nabi yang banyak disandarkan padanya periwayatan
israiliyyat, seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah,Abdullah ibn Amru ibn Ash, dan
Abdullah ibn Salam ibn Harits.
Merusak citra islam, karena seolah-olah
islam itu agama yang penuh dengankhurafat dan mitos yang tidak ada sumbernya.
Memalingkan manusia dari maksud dan
tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Secara bahasa, kata al-Dakhi>l dalam bahasa arab memiliki banyak
arti, Fairu>zzaba>di dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata dakhi>l
sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa
penyakit atau sesuatu yang merusak.Penulis kitab Lisa>nu al-Arab
mengartikan al-Dakhi>l dengan arti kata “asing” sepertiفلان دَخِيل في
بني فلان(si fulan adalah orang
asing di lingkungan bani fulan ).
2.
pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah suatu aib dan cacat yang
sengaja ditutup-tututpi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam
beberapa bentuk tafsir al-Quran yang otentik.
3.
Infiltrasi
kisah-kisah israiliyyat dalam Tafsir al-Qur‟an
tidak lepas dari kondisi sosial kultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah.
Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk kedalam benak mereka
sehingga tidak bisa dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani
dengan kebudayaan Arab.
4.
Para ulama Tafsir membagi
dakhil menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a)
Dakhil al- Naqli
b)
Dakhil al-Ra’yi
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun,jilid.
Ikairo: Maktabah Wahbah, 1992.
Ahmad bin Ali> bin Hajar Abu>
al-Fa>d}il al-‘Asqala>ni> al-Sya>fi’i, Fath al-Bari bi Syarh
Shahih al-Bukhari,juz.VIIIBeirut: Da>r M’arifah, 1379.
Ahmad Saht Ahmad Musa, ad-Dakhil fi
Tafsir, juz I,
al-Mis}ri,Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r
al-Afri>qi>>, Lisa>n al-‘Arab, Juz XI
Beirut: Da>r S{adir,
Fairu>zzaba>di,
Al-Muhi>t, juz. I.
KhalifahIbrahim,
al-Dakhil fi al-Tafsir,jilid. I ,Kairo: Dar al-Bayan, 1402 H
[1]Fairu>zzaba>di, Al-Muhi>t, juz.
I,(t.d.), h.1290
[2]Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r
al-Afri>qi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, Juz XI ( Beirut: Da>r S{adir), h. 239
[3]Ibrahim Khalifah, al-Dakhil fi al-Tafsir,jilid.
I,(Kairo: Dar al-Bayan, 1402 H) h.15
[4]ibid.,h.
9.
[5]Ahmad Saht Ahmad Musa, ad-Dakhil fi Tafsir, juz I,(t.d.)
hal. 47.
[6]Ibid. ,h.
48
[7]Ibrahim Khalifah,Op. cit., h. 10
[8]Ahmad bin
Ali> bin Hajar Abu> al-Fa>d}il al-‘Asqala>ni> al-Sya>fi’i, Fath
al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,juz.VIII(Beirut: Da>r M’arifah, 1379),h.
334
[9]ibid.,
h. 335
[10]Ibrahim
Khilafah, op. cit., h. 14.
[11]ibid.,
h. 14
[12]Adz-Dzahabi,
Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun,jilid. I(kairo: Maktabah
Wahbah, 1992), h 481
Tidak ada komentar:
Posting Komentar