Kamis, 26 Desember 2013

ad dakhil

Al-Dakhi>l Fi Tafsi>r
 







Mata Kuliah Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Semester V

Oleh;
ZAINUDDIN
NIM:30300111015

Dosen Pemandu;
Muhammad Irham M.Thi


PROGRAM ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya yang dibawa oleh penutup para Nabi Muhammad SAW. Dengan berpegang pada kitab suci al-Qur’an yang merupakan satu-satunya kitab samawi yang Allah janjikan keutuhan dan keotentikan kebenarannya hingga akhir zaman. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
إِنَّا نحنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا له لحَافِظُوْنَ
Allah telah menurunkan empat kitab samawi serta banyak  mushaf kepada Nabi dan Rasul-Nya. Yang kesemuanya memiliki beberapa kesamaan dalam pembahasannya. Namun seiring berjalannya waktu, kitab-kitab terdahulu telah banyak berubah disebabkan tangan-tangan pemegangnya yang tidak bertanggung jawab dan  kepentingan pribadi yang penuh syahwat duniawi. Karena itu, hanya satu kitab samawi yang masih terjaga keutuhannya hingga saat ini, yaitu kitab suci al-Qur’an al-Karim.
Sebagai sumber utama syariat islam, al-Qur’an mendapat perhatian penting oleh penganutnya. Semua penganutnyapun ingin hidup seutuhnya berdasarkan tuntunan yang tremaktub di dalamnya.Namun, bahasa Tuhan yang begitu agung sulit dipahami seutuhnya oleh hamba-Nya yang terlalu jauh dari sempurna.Karenanya dibutuhkan pentafsir atau penjelas untuk mempermudah memahaminya dan mengaplikasikan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Baik berupa penjelasan yang dijabarkan oleh Rasulullah SAW ataupun kalam sahabat dan alim ulama yang ‘amiq ilmu pengetahuannya.
Maka muncullah sebuah alat pembantu untuk memahaminya yang bernama Tafsir al-Qur’an. Tafsir ini merupakan alat pembantu yang sangat membantu muslim awam untuk memahami kitab sucinya dengan baik.
Dibalik keistimewaan ilmu tafsir yang dapat mempermudah manusia untuk memahami al-Qur’an dengan baik dan benar, terdapat beberapa hal yang juga dapat menjerumuskan pembaca dan peminatnya pada kesalahan yang jauh menyimpang dari syari’at. Hal ini disebabkan karena banyaknya riwayat-riwayat yang masuk ke dalam tafsir al-Qur’an salah satunya yaitu Al-Dakhi>l .
Terkontaminasinya tafsir al-Qur’an dengan riwayat Al-Dakhi>l mempunyai beberapa faktor dan juga memberikan pengaruh yang sangat besar . Karenanya kita harus mengetahui dan harus bisa membedakan agar kita tidak salah dalam memahami kitab suci al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat islam.


B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Al-Dakhi>l fi Tafsi>r?
2.      Bagaimana sejarah dan pembagian Al-Dakhi>l fi tafsi>r?
3.      Apa urgensi mengetahui Al-Dakhi>l fi tafsi>r?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Al-Dakhi>l fi tafsi>r
Secara bahasa, kata al-Dakhi>l dalam bahasa arab memiliki banyak arti, Fairu>zzaba>di dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata dakhi>l sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang merusak.[1]Penulis kitab Lisa>nu al-Arab mengartikan al-Dakhi>l dengan arti kata “asing” sepertiفلان دَخِيل في بني فلان(si fulan adalah orang asing di lingkungan bani fulan )[2].
Sedang makna dakhil secara istilah menurut ulama tafsir, sebagaimana yang di defenisikan oleh Dr. Ibrahim Khalifah adalah; penafsiran Al-Quran yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam, baik itu tafsir menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab lalai ataupun disengaja). Sedang, Dr. Abdul Wahhab memaknai dakhil dengan; menafsirkan Al-Qur’an dengan metode dan cara yang diambil bukan dari Islam.[3]
Dakhil dalam tafsir adalah :
الدخيل في التفسير هو ما نقل من التقسير ولم يثبت نقله او ثيت ولكن على خلاف القبول او ما كان من قبيل الرأي الفاسد
Penafsiran Al-qur’an dengan al-ma’tsur yang tidak shahih, penafsiran Al-qur’an  dengan al-ma’tsur  yang shahih tatapi tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan atau penafsiran al-qur’an dengan pikiran yang salah[4]
Berdasarkan pengertian di atas maka pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tututpi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir al-Quran yang otentik. Akibat penyembunyian dan penyamaran ini, usaha untuk mengetahui dan mengungkapkannyamembutuhkan suatu ketelitian atau penelitian mendalam.
B.   Sejarah dan Pembagian Al-Dakhi>l fi tafsi>r
Sejarah Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Infiltrasi kisah-kisah israiliyyat dalam Tafsir al-Quran tidak lepas dari kondisi sosial kultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk kedalam benak mereka sehingga tidak bisa dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab. Pada masa Rasullah saw, informasi dari kaum Yahudi yang dikenal dengan Israiliyyat tidak berkembang di dalam penafsiran al-Qur’an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas( Mubayyin ) berbagai masalah atau hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran baik makna atau kandungannya para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah saw.[5]
Kendatipun demikian, Rasullullah telah memberi semacam lampu hijau untuk menerima informasi dari Bani Israil. Hal ini tampak dalam hadis beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amru dan riwayat Bukhari dari Abi Hurairah. Setelah Rasul wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas wahyu.Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadis Rasul.Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad.Riwayat dan ahli kitab menjadi salah satu rujukan.Hal ini terjadi karena ada persamaan antara al-Qur’an, Taurat dan Injil.Hanya saja al-Quran berbicara dengan singkat sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.[6]
Pembagian Al-Dakhi>l fi Tafsi>r
Para ulama Tafsir membagi dakhil menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
1.      Dakhil al- Naqli
Menafsirkan Al-quran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah. Seperti menafsirkan Al-quran dengan hadis palsu dan dhaif, lebih-lebih bila faktor kedaifan hadis itu sesuatu yang tidak mungkin direhabilitasi seperti tidak terpenuhinya unsur ‘adalah (integrasi perawi).[7]Hadits yang layak diterima sebagai dalil adalah hadis sahih dan hadis hasan.Perbedaan antara sahih dan hasan adalah pada daya hapal perawi.Sanad hadis sahih memiliki daya hapal yang kuat sedangkan sanad hadis hasan memiliki daya hapal yang di bawah standar hadis sahih.
Contohnya :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang Kami telah berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (Qs. AL-Kahfi:65).
Dalam menafsirkan ayat ini, kelompok yang berpendapat bahwa Nabi Khidir masih hidup berdasarkan argumentasi dengan hadis :
‘’bahwa Zulkarnain berteman dengan seorang malaikat.Ia meminta temannya itu menunjukkan sesuatu yang dapat memperpanjang umurnya kepadanya. Malaikat menunjukkan ‘ain al hayah (air mata kehidupan) kepadanya yang berada di tempat gelap.Zulkarnain berjalan menujunya, sedang di depannya berjalan pula Khidir.Khidir mendapatkannya sedang Zulkarnain tidak.”[8]
Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis ini menjadi sandaran pendapat bahwa Khidir akan hidup sampai kiamat karena ia telah minum mata air kehidupan. Hadis ini dhaif karena bersumber dari Wahb Ibn Munabbih dan lain-lain. Semua Israiliyyat yang bersumber darinya adalah dhaif dan tidak dapat dipercaya.[9]
2.      Dakhil al-Ra’yi
Bentuk-bentuk dakhil al-Ra’yi yaitu sebagai berikut :
Dakhil karena pemutarbalikan logika dan pengabaian makna literal. Dakhil karena faktor ini sering dilakukan oleh kelompok Mu’tazilahdan sebahagian filosof muslim.[10]
Muktazilah adalah aliran yang menganut paham qadariah, pengikutnya selalu disebut ashhab al-‘adl wa al-tauhid. Sekalipunsekte aliran ini banyak, namun semua sepakat dalam hal Allah bersifat qadim, mausia adalah pelaku perbuatannya, mukmin pelaku dosa besar yang tidak tobat kekal dalam neraka, dan sekalipun wahyu belum turun namun manusia wajib mengenal Allah dan mensyukuru nikmatnya.
Dakhil karena faktor pengungkapan aspek-aspek mukjizat al-Quran yang diada-adakan dan aneh khusus aspek ilmiahnya. Dakhil karena faktor ini sering dilakukan oleh sebagian ilmuan yang menguasai ilmu-ilmu kontemporer.[11]
Memposisikan ayat al-Quran sebagai dasar pengesahan sesuatu yang belum pasti kebenarannya adalah suatu kesalahan.Teori-teori ilmiah masih bersifat sementara dan belum final.Al-Quran adalah kitab suci yang berisi hidayah terkadang mengisyaratkan beberapa bagian masalah ilmiah yang eksperimental lagi berwujud.banyak orang menyikapi al-Quran secara tidak wajar. Mereka mengklaim bahwa al-Quran telah mencakup semua cabang disiplin ilmu yang telah dipelajari dan yang akan dipelajari manusia seperti ilmu fisika, matematika, logika dan semua keterampilan serta keahlian. Klaim seperti ini tidak benar.Yang paling mengetahui ilmu al-Quran dan kandungannya adalah para sahabat dan tabi’in, tidak seorangpun drai mereka yang mengeluarkan pebdapat yang serupa.
Contoh tafsir ilmi yang mengungkap aspek I’jaz al-Quran :
dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit lalu dia hasilkan dengan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu  (Qs. Al-Baqarah : 22)
Dalam menafsirkan ayat ini Dr. Abdul Aziz Ismail menyatakan bahwa ayat ini mengindikasikan bahwa daging, ikan dan susus lebih bergizi dan utama daripada sayur-sayuran, gandum dan jagung. Keutamaannya tidak pada kandungan kadar proteinnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kemudian ia menulis ayat di atas dengan mengungkap kesimpulan ilmiah ini secara ringkas. Sekalipun kesimpilan ini sudah tertera dalam al-Quran namun kebenarannya baru terbukti beberapa tahun terakhir.Dzahabi mengomentari pendapat di atas sebagai berikut, ‘’saya heran tentang ungkapannya ‘Ayat di atas mengungkap kesimpulan ilmiah ini secara ringkas’.[12]
C.     Dampak Dakhi>l fi Tafsi>r
Adapun dampak dari Dakhi>l fi Tafsi>r :
Mengurangi ketsiqohan ummat Islam terhadap sahabat Nabi yang banyak disandarkan padanya periwayatan israiliyyat, seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah,Abdullah ibn Amru ibn Ash, dan Abdullah ibn Salam ibn Harits.
Merusak citra islam, karena seolah-olah islam itu agama yang penuh dengankhurafat dan mitos yang tidak ada sumbernya.
Memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Secara bahasa, kata al-Dakhi>l dalam bahasa arab memiliki banyak arti, Fairu>zzaba>di dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata dakhi>l sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang merusak.Penulis kitab Lisa>nu al-Arab mengartikan al-Dakhi>l dengan arti kata “asing” sepertiفلان دَخِيل في بني فلان(si fulan adalah orang asing di lingkungan bani fulan ).
2.    pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tututpi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir al-Quran yang otentik.
3.    Infiltrasi kisah-kisah israiliyyat dalam Tafsir al-Quran tidak lepas dari kondisi sosial kultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk kedalam benak mereka sehingga tidak bisa dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab.
4.    Para ulama Tafsir membagi dakhil menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a)    Dakhil al- Naqli
b)      Dakhil al-Ra’yi




DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun,jilid. Ikairo: Maktabah Wahbah, 1992.
Ahmad bin Ali> bin Hajar Abu> al-Fa>d}il al-‘Asqala>ni> al-Sya>fi’i, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,juz.VIIIBeirut: Da>r M’arifah, 1379.
Ahmad Saht Ahmad Musa, ad-Dakhil fi Tafsir, juz I,
al-Mis}ri,Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afri>qi>>, Lisa>n al-‘Arab, Juz XI Beirut: Da>r S{adir,
Fairu>zzaba>di, Al-Muhi>t, juz. I.
KhalifahIbrahim, al-Dakhil fi al-Tafsir,jilid. I ,Kairo: Dar al-Bayan, 1402 H

























[1]Fairu>zzaba>di, Al-Muhi>t, juz. I,(t.d.), h.1290
[2]Muh}ammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, Juz XI ( Beirut: Da>r S{adir), h. 239
[3]Ibrahim Khalifah, al-Dakhil fi al-Tafsir,jilid. I,(Kairo: Dar al-Bayan, 1402 H) h.15
[4]ibid.,h. 9.
[5]Ahmad Saht Ahmad Musa, ad-Dakhil fi Tafsir, juz I,(t.d.) hal. 47.

[6]Ibid. ,h. 48
[7]Ibrahim Khalifah,Op. cit., h. 10
[8]Ahmad bin Ali> bin Hajar Abu> al-Fa>d}il al-‘Asqala>ni> al-Sya>fi’i, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,juz.VIII(Beirut: Da>r M’arifah, 1379),h. 334
[9]ibid., h. 335
[10]Ibrahim Khilafah, op. cit., h. 14.
[11]ibid., h. 14
[12]Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun,jilid. I(kairo: Maktabah Wahbah, 1992), h 481

Tidak ada komentar:

Posting Komentar