BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di dalam
kehidupan manusia, tidak terlepas dari kepemimpinan dan jabatan. Di dalam
sistem pemerintahan kita telah banyak menjumpai bentuk-bentuk pimpinan yang
bertindak sewenang-wenang. Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam
etika politik merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang
berakar dari budaya Barat ini. Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian
semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas
orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang
menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Maka dari itu,
memilih seorang pemimpin dalam bernegara bukanlah
yang berambisi dalam menduduki jabatan. Dalam makalah ini, akan di
jelaskan hadis tentang
larangan meminta jabatan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana pandangan hadis tentang meminta jabatan?
2.
Bagaimana sifat kepemimpinan dalam Islam?
3.
Apa hikmah tidak diangkatnya orang yang meminta untuk menduduki suatu jabatan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Tentang
Larangan Meminta Jabatan
Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik
merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari
budaya Barat ini. Hadis berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana
sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status
sosial ini.
Rasulullah saw. pernah menasehatkan kepada
‘Abdu al-Rahman bin Samurah ra:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ
الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا،
وَإِنْ أُوطِيتَهَا منْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا[1]
Artinya: Dari ‘Abdu al-Rahman bin Samurah ra. berkata: "Rasulullah saw. bersabda kepada saya:
"Wahai ‘Abdu al-Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan/jabatan, karena sesungguhnya engkau jika diberi kekuasaan
karena memintanya, engkau akan dibebani dalam
menjalankan kekuasaan tersebut. Dan jika engkau diberi kekuasaan tanpa
memintanya, engkau akan ditolong dalam menjalankannya.
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahih-nya no. 1197 dengan judul “Larangan meminta kekuasaan dan semangat mencarinya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga
didapatkan riwayat dari Abu Z{ar al-Gifari ra. Ia berkata: “Wahai Rasulullah
saw., tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku
tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا
ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ
وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا[2]
Artinya: Wahai Abu Z{ar, sesungguhnya engkau adalah seorang yang lemah dan
sesungguhnya jabatan pemerintahan itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya
jabatan sedemikian itu adalah merupakan kerendahan serta penyesalan pada hari kiamat bagi orang yang tidak dapat menunaikan amanatnya,
kecuali seseorang yang mengambil amanat itu dengan hak sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang dibebankan atas dirinya perihal amanat yang
dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim).
Al-Imam Nawawi rahimahullah memaparkan hadis Abu Z{ar di atas dalam kitab beliau
Riyad}u al-S}a>lihi<n, bab Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan
memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk
memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.[3]
B.
Kepemimpinan
yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan
merupakan impian semua orang. Mayoritas
orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang
menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. ketika
beliau menyampaikan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ،
وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ[4]
Artinya: Sesungguhnya
kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari
kiamat ia akan menjadi penyesalan.
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin,
memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan
dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia,
menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan,
kemewahan serta kemegahan.
Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan
ambisinya ini, banyak elit politik atau calon pemimpin di bidang lainnya, tidak
segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih.
Atau sekedar uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat
berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang
ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival
dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi
tersebut.
Berkata al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul
Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor
yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang
besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di
atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah swt. berfirman:
y7ù=Ï? â#¤$!$# äotÅzFy$# $ygè=yèøgwU tûïÏ%©#Ï9 w tbrßÌã #vqè=ãæ Îû ÇÚöF{$# wur #Y$|¡sù 4 èpt7É)»yèø9$#ur tûüÉ)FßJù=Ï9 ÇÑÌÈ
Terjemahnya: Negeri akhirat[5] itu,
Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik)[6] itu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Qas}a>s}: 83).
Al-Hafiz} Ibnu Kas\ir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan:
“Allah ta‘`ala
mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak
akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang
beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi
yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak
merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah
mereka.”[7]
Berkata Syaikh Ibnu Us\aimin rahimahullah: “Seseorang
yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan
manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan
yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan
mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk
meminta jabatan.”[8]
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan,
kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan
kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan
mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan
sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah
mereka menjadi pemimpinlah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah
sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada,
mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya
ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya
kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka
lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh merupakan
perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang
dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang
menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah saw. menggambarkan kerakusan
terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di
tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ
حِرْصِ المَرْءِ عَلَى المَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ[9]
Artinya: Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah
gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap
agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang
tinggi.
C. Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara
dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka pantas sekali apabila hadis
yang diriwayatkan dari ‘Abdu al-Rahman bin Samurah dan Abu Z{ar di atas
dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadis Abu Z{ar yang menyebutkan
kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi
pemimpin. Rasulullah saw. berkata kepada Abu Z{ar ra: “Wahai Abu Z{ar, engkau
seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan
memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya.
Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada
orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang
itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan sebaliknya, bila ia
seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini
merupakan satu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini
bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib
yang bersangkutan.
Berkata Syaikh Ibnu Us\aimin rahimahullah: “Makna ucapan
Nabi saw. kepada Abu Z{ar adalah beliau melarang Abu Z{ar menjadi seorang
pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan
seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan
perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena
apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan
baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu
sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi apabila
seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui
batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang
hakiki.”[10]
Rasulullah saw. juga menyatakan kepada Abu Z{ar bahwa
kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki
dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah dengan dalil:
cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S. al-Qas}as}: 26).
Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf a.s.:
y7¨RÎ) tPöquø9$# $uZ÷t$s! îûüÅ3tB ×ûüÏBr& ÇÎÍÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."(Q.S. Yusuf: 54).
Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
¼çm¯RÎ) ãAöqs)s9 5Aqßu 5OÌx. ÇÊÒÈ Ï >o§qè% yZÏã Ï Ä¸öyèø9$# &ûüÅ3tB ÇËÉÈ 8í$sÜB §NrO &ûüÏBr& ÇËÊÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar firman
(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan,
yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang
ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. (Q.S. al-Takwir: 19-21).
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya
kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang
sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah
tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia.
Allah berfirman:
xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@ ÓÉL»t$t«Î/ $YYyJrO WxÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Terjemahnya:
Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku
dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Maidah: 44).
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak
disebutkan di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan
yang lain bisa kami paparkan.
Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/
kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah saw. melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah saw. juga bersabda:
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah saw. melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah saw. juga bersabda:
قَالَ: فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ
الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ[11]
Artinya:
Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: ‘Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?’ Beliau menjawab:
‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya
hari kiamat.
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada
seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw.:
عن
ابي موسى الاشعري رضي الله عنه قال: دخلت على النبي صم انا ورجلان من بني عمي,
فقال احدهما: يارسول الله امرنا على بعض ما ولاك الله عزوجل, وقال الاخر: مثل
ذالك, فقال: انا والله لا نولي هذا العمل احدا ساْله او احدا حرص عليه
Artinya:
Abu
Musa ra berkata: Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui
Rasulullah saw. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah kami
sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah saw.: “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat seseorang
dalam suatu jabatan yang mana ia memintanya, atau seseorang yang sangat ambisi
pada jabatan itu”.
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah
orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan
diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana
sabda Rasulullah saw. kepada ‘Abdu al-Rahman
bin Samurah di atas : ”Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya
engkau akan ditolong oleh Allah (dengan
diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena
permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong oleh Allah).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak
akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak
cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294).
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi
jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk
mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi
penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana
mestinya. Berkata al-Qad}i al-Baid}awi: “Karena itu tidak sepantasnya orang
yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri
dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
D.
Faedah
Hadis
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak
boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan
menempuh segala cara untuk mendapatkannya.
2.
Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib
bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di
bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
3.
Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa
apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama
saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya
atau karyawan yang menguasai bidangnya.
4.
Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan
semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak
melakukan upaya optimal dalam memperbaiki urusan kepemimpinannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Diterangkan oleh Imam Nawawi, bahwasanya hadis Abu Hurairah (hadis
pertama) adalah suatu dasar pelarangan bagi mereka yang berambisi untuk mengendalikan wilayah Negara (mengendalikan
pemerintahan) khususnya bagi orang-orang yang kurang mampu, kurang mempunyai
keahlian.
2.
Kepemimpinan
itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan
perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia.
3.
Menurut para ulama, hikmah tidak diangkatnya orang yang berambisi
menduduki jabatan di suatu Negara karena Allah swt. tidak menolong orang yang
sangat bernafsu menjadi penguasa.
B. IMPLIKASI
Demikianlah pembahasan mengenai wawasan hadis tentang larangan meminta
jabatan yang sempat penulis paparkan pada
makalah ini, dengan harapan mudah-mudahan perbendaharaan ilmu pembaca
sekaligus penulis pada khususnya semakin bertambah. Dan penulis sadar bahwa masih banyak
terdapat berbagai macam kesalahan, baik itu mengenai penulisan dan penyusunan
kata yang membuat para pembaca kurang jelas untuk memahami makna tersebut, maka
dari itu penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan konstribusi
pemikiran yang membangun dari semua pihak, guna memperbaiki dan menyempurnakan
tulisan dan pengetahuan penulis.
DAFTAR PUSTAKA
al-Dimasyki,
Abul-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi. Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim. Jilid III, Cet. II; t.t.: Da>r Toyyibah Li< al-Nasyri wa
al-Tawzi’I, 1999 M/1420 H.
Hakim, Arif Rahman, Kumpulan
Hadits Shahih Bukhari Muslim terjemahan dari al-Lu‘lu‘ wal Marjan. Cet. I;
Jawa tengah: Insan Kamil Solo, 2011 M.
al-Hilali, Syaikh Salim bin ‘Ied. Bahjatun
Na>z}iri<n Syarh Riya>d}is} S{a>lihi<n, terj. Badrussalam
dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN. Jilid. II, Cet.
II; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H.
al-Ja’fi,
Muhammad bin Ismail ‘Abdullah al-Bukhari. Jami al-Shahih al-Mukhtashar.
Jilid IX, Cet. I; Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H.
al-Naisa>bu>ri<,
Muslim bin al-H\ajja>j Abu> al-H\asan al-Qusyairi<. S{ahih Muslim, Jilid.
III, Beirut: Da>r Ihya> al-Turas\ al-‘Arabi<, t.th.
al-Sulami>,
Muhammad bin ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tirmiz\i>. al-Ja>mi‘ al-S{ah}ih}
Sunan al-Tirmiz\i>. Juz IV, Cet. II; Mesir: Syarkah Maktabah wa
Mat}ba‘ah Mus}t}afa al-Ba>bi< al-Halbi<, 1975 M/1395 H.
http://aburamiza.wordpress.com/tag/jabatan/ (11 desember 2012).
[1]Muhammad Fu’a>d
‘Abdul Ba>qi yang diterjemahkan oleh Arif Rahman Hakim, al-Lu‘lu‘ wal
marja>n Kumpulan Hadis Shahih Bukhari-Muslim, (Cet. I; Jawa tengah:
Insan Kamil
Solo, 2010), h. 538-539.
[2]Muslim
bin al-H\ajja>j Abu> al-H\asan al-Qusyairi< al-Naisa>bu>ri<, S{ahih
Muslim, Jilid. III (Beirut: Da>r Ihya> al-Turas\ al-‘Arabi<, t.th.),
h. 1457.
[3]Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun
Na>z}iri<n Syarh Riya>d}is} S{a>lihi<n, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN, Jilid. II
(Cet. II; Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H), h. 472.
[4]Muhammad bin Ismail
‘Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Jami al-Shahih al-Mukhtashar. Jilid IX, Cet.
I; Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H, h. 63.
[5]Yang dimaksud kampung
akhirat di sini ialah kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat. Lihat,
Qur’an in word.
[7]Abul-Fida Ismail bin
Umar bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyki, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid
III (Cet. II; t.t.: Da>r
Toyyibah Li< al-Nasyri
wa al-Tawzi’I, 1999 M/1420 H),
h. 395.
[9]Muhammad
bin ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tirmiz\i> al-Sulami>, al-Ja>mi‘
al-S{ah}ih} Sunan al-Tirmiz\i>, Juz IV (Cet. II; Mesir: Syarkah Maktabah wa
Mat}ba‘ah Mus}t}afa al-Ba>bi< al-Halbi<, 1975 M/1395 H), h. 166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar