Minggu, 22 Desember 2013

LARANGAN MEMINTA JABATAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Di dalam kehidupan manusia, tidak terlepas dari kepemimpinan dan jabatan. Di dalam sistem pemerintahan kita telah banyak menjumpai bentuk-bentuk pimpinan yang bertindak sewenang-wenang. Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat ini. Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Maka dari itu, memilih seorang pemimpin dalam bernegara bukanlah yang berambisi dalam menduduki jabatan. Dalam makalah ini, akan di jelaskan hadis tentang larangan meminta jabatan.
B.   RUMUSAN MASALAH
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.                  Bagaimana pandangan hadis tentang meminta jabatan?
2.                  Bagaimana sifat kepemimpinan dalam Islam?
3.                  Apa hikmah tidak diangkatnya orang yang meminta untuk menduduki suatu jabatan?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Larangan Meminta Jabatan
Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat ini. Hadis berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status sosial ini.
Rasulullah saw. pernah menasehatkan kepada ‘Abdu al-Rahman bin Samurah ra:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوطِيتَهَا منْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا[1]
Artinya: Dari Abdu al-Rahman bin Samurah ra. berkata: "Rasulullah saw. bersabda kepada saya: "Wahai Abdu al-Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan/jabatan, karena sesungguhnya engkau jika diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Dan jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong dalam menjalankannya.
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahih-nya no. 1197 dengan judul “Larangan meminta kekuasaan dan semangat mencarinya.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Z{ar al-Gifari ra. Ia berkata: “Wahai Rasulullah saw., tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا[2]
Artinya: Wahai Abu Z{ar, sesungguhnya engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan pemerintahan itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu adalah merupakan kerendahan serta penyesalan pada hari kiamat bagi orang yang tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seseorang yang mengambil amanat itu dengan hak sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang dibebankan atas dirinya perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim).
Al-Imam Nawawi rahimahullah memaparkan hadis Abu Z{ar di atas dalam kitab beliau Riyad}u al-S}a>lihi<n, bab Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.[3]
B.   Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. ketika beliau menyampaikan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ[4]
Artinya: Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau calon pemimpin di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih. Atau sekedar uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut.
Berkata al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah swt. berfirman:
y7ù=Ï? â#¤$!$# äotÅzFy$# $ygè=yèøgwU tûïÏ%©#Ï9 Ÿw tbr߃̍ム#vqè=ãæ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur #YŠ$|¡sù 4 èpt7É)»yèø9$#ur tûüÉ)­FßJù=Ï9 ÇÑÌÈ  
Terjemahnya: Negeri akhirat[5] itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik)[6] itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Qas}a>s}: 83).
Al-Hafiz} Ibnu Kas\ir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Allah ta`ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.”[7]
Berkata Syaikh Ibnu Us\aimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.”[8]
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpinlah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah saw. menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ المَرْءِ عَلَى المَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ[9]
Artinya: Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.
C.   Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka pantas sekali apabila hadis yang diriwayatkan dari ‘Abdu al-Rahman bin Samurah dan Abu Z{ar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadis Abu Z{ar yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah saw. berkata kepada Abu Z{ar ra: “Wahai Abu Z{ar, engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan satu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Berkata Syaikh Ibnu Us\aimin rahimahullah: “Makna ucapan Nabi saw. kepada Abu Z{ar adalah beliau melarang Abu Z{ar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.”[10]
Rasulullah saw. juga menyatakan kepada Abu Z{ar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:
žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S. al-Qas}as}: 26).
Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf a.s.:
y7¨RÎ) tPöquø9$# $uZ÷ƒt$s! îûüÅ3tB ×ûüÏBr& ÇÎÍÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."(Q.S. Yusuf: 54).
Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
¼çm¯RÎ) ãAöqs)s9 5Aqßu 5OƒÌx. ÇÊÒÈ   ÏŒ >o§qè% yZÏã ÏŒ ĸöyèø9$# &ûüÅ3tB ÇËÉÈ   8í$sÜB §NrO &ûüÏBr& ÇËÊÈ  
Terjemahnya:
Sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. (Q.S. al-Takwir: 19-21).
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia.
Allah berfirman:
Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
Terjemahnya:
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. al-Maidah: 44).
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.
Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah saw. melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah saw. juga bersabda:
قَالَ: فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ[11]

Artinya:
Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah  tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?’ Beliau menjawab: ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
عن ابي موسى الاشعري رضي الله عنه قال: دخلت على النبي صم انا ورجلان من بني عمي, فقال احدهما: يارسول الله امرنا على بعض ما ولاك الله عزوجل, وقال الاخر: مثل ذالك, فقال: انا والله لا نولي هذا العمل احدا ساْله او احدا حرص عليه
Artinya:
Abu Musa ra berkata: Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah saw. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah saw.: “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat seseorang dalam suatu jabatan yang mana ia memintanya, atau seseorang yang sangat ambisi pada jabatan itu”.
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada  ‘Abdu al-Rahman bin Samurah di atas : ”Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong oleh Allah (dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong oleh Allah).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294).
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata al-Qad}i al-Baid}awi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
D.  Faedah Hadis
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk mendapatkannya.
2. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
3. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
4. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbaiki urusan kepemimpinannya.










BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.    Diterangkan oleh Imam Nawawi, bahwasanya hadis Abu Hurairah (hadis pertama) adalah suatu dasar pelarangan bagi mereka yang berambisi untuk mengendalikan wilayah Negara (mengendalikan pemerintahan) khususnya bagi orang-orang yang kurang mampu, kurang mempunyai keahlian.
2.    Kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia.
3.      Menurut para ulama, hikmah tidak diangkatnya orang yang berambisi menduduki jabatan di suatu Negara karena Allah swt. tidak menolong orang yang sangat bernafsu menjadi penguasa.
B.   IMPLIKASI
Demikianlah pembahasan mengenai wawasan hadis tentang larangan meminta jabatan yang sempat penulis paparkan pada makalah ini, dengan harapan mudah-mudahan perbendaharaan ilmu pembaca sekaligus penulis pada khususnya semakin bertambah. Dan penulis sadar bahwa masih banyak terdapat berbagai macam kesalahan, baik itu mengenai penulisan dan penyusunan kata yang membuat para pembaca kurang jelas untuk memahami makna tersebut, maka dari itu penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan konstribusi pemikiran yang membangun dari semua pihak, guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis.



















DAFTAR PUSTAKA
al-Dimasyki, Abul-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Jilid III, Cet. II; t.t.: Da>r Toyyibah Li< al-Nasyri wa al-Tawzi’I, 1999 M/1420 H.
Hakim, Arif Rahman, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim terjemahan dari al-Lu‘lu‘ wal Marjan. Cet. I; Jawa tengah: Insan Kamil Solo, 2011 M.
al-Hilali, Syaikh Salim bin ‘Ied. Bahjatun Na>z}iri<n Syarh Riya>d}is} S{a>lihi<n, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN. Jilid. II, Cet. II; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H.
al-Ja’fi, Muhammad bin Ismail ‘Abdullah al-Bukhari. Jami al-Shahih al-Mukhtashar. Jilid IX, Cet. I; Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H.
al-Naisa>bu>ri<, Muslim bin al-H\ajja>j Abu> al-H\asan al-Qusyairi<. S{ahih Muslim, Jilid. III, Beirut: Da>r Ihya> al-Turas\ al-‘Arabi<, t.th.
al-Sulami>, Muhammad bin ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tirmiz\i>. al-Ja>mi‘ al-S{ah}ih} Sunan al-Tirmiz\i>. Juz IV, Cet. II; Mesir: Syarkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus}t}afa al-Ba>bi< al-Halbi<, 1975 M/1395 H.
http://aburamiza.wordpress.com/tag/jabatan/ (11 desember 2012).




[1]Muhammad Fu’a>d ‘Abdul Ba>qi yang diterjemahkan oleh Arif Rahman Hakim, al-Lu‘lu‘ wal marja>n Kumpulan Hadis Shahih Bukhari-Muslim, (Cet. I; Jawa tengah: Insan Kamil Solo, 2010), h. 538-539.

[2]Muslim bin al-H\ajja>j Abu> al-H\asan al-Qusyairi< al-Naisa>bu>ri<, S{ahih Muslim, Jilid. III (Beirut: Da>r Ihya> al-Turas\ al-‘Arabi<, t.th.), h. 1457.
[3]Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun Na>z}iri<n Syarh Riya>d}is} S{a>lihi<n, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Syarah RIYADHUSH SHALIHIN, Jilid. II (Cet. II; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008 M/1429 H), h. 472.
[4]Muhammad bin Ismail ‘Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, Jami al-Shahih al-Mukhtashar. Jilid IX, Cet. I; Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H, h. 63.
[5]Yang dimaksud kampung akhirat di sini ialah kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat. Lihat, Qur’an in word.
[6]Maksudnya: syurga. Lihat, Qur’an in word.
[7]Abul-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyki, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid III (Cet. II; t.t.: Da>r Toyyibah Li< al-Nasyri wa al-Tawzi’I, 1999 M/1420 H), h. 395.
[8]Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, op. cit., h. 469.

[9]Muhammad bin ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tirmiz\i> al-Sulami>, al-Ja>mi‘ al-S{ah}ih} Sunan al-Tirmiz\i>,  Juz IV (Cet. II; Mesir: Syarkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus}t}afa al-Ba>bi< al-Halbi<, 1975 M/1395 H), h. 166.
[10]Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, op. cit., h. 472.
[11]al-Bukhari al-Ja’fi, op. cit., Jilid. I, h. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar